benda pusaka
Horas horas horaes....!Bagi orang Batak, ulos merupakan simbol restu, berkat, kasih sayang, dan persatuan. Dalam adat Batak, ulos adalah benda sakral. Tiap jenis dan motif ulos mempunyai arti tersendiri dan tidak bisa saling ditukarkan kegunaannya. Itulah sebabnya banyak tetua Batak yang berang dan tersinggung dengan kelakuan Martha Sirait. Maklum, ulos yang disakralkan itu oleh Martha justru di
buat aneka perlengkapan rumah tangga, rompi, dompet, tas, dan lainnya.Namun, kecaman bertubi-tubi lewat media massa saat itu tidak menggoy
ahkan perjuangan Martha. Akhirnya, pandangan kolot dari tetua Batak pelan-pelan terkikis. Wanita berusia 51 tahun ini bisa tenang mengembangkan bisnis ulosnya. Awalnya, Martha hanya menyalurkan hobi membuat ulos dan dipakai sendiri. Bakat membuat ulos diperoleh dari ibunya yang menjadi pembina penenun ulos di Kampung Porsea, Sumatra Utara. Itu sebabnya, sejak kecil ia sudah akrab dengan ulos. Sayangnya, usaha tenun ulos yang tergolong ATBM (alat tenun bukan mesin) tidak berkembang di kampungnya.
Ketika Martha hijrah ke Jakarta, 1965, usaha tenun ulos di sana sudah menjadi bangkai. Perhatiannya terhadap ulos kembali tumbuh setelah menikah dengan Amir Sirait. Pertama-tama Martha hanya mempelajari motif-motif ulos yang sudah ada. Ia tidak berani memotong ulos yang sudah ada. “Tabu bagi orang Batak,” katanya.
Lantas, ia berpikir, bagaimana jika dari motif ulos yang sudah ada diambil sebagian saja, dan kemudian dipadupadankan. Motif-motif campuran inilah yang ditenun khusus untuk keperluan handicraft. “Jadi, bukan ulos adat yang saya potong-potong,” jelas Martha membela diri.
Upaya Martha menembus pasar cukup sederhana. Sengaja ia memakai tas, dompet, busana berbahan ulos ke berbagai acara seperti arisan atau ke gereja. Ornamen dan podium gereja serta kantung persembahan di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, pun dipercantik dengan ulos. Akibatnya, kerajinan ulos bikinan Martha semakin dikenal banyak orang. Order pun mengalir terus, mulai dari seragam paduan suara hingga pesanan Pemda Sumatra Utara untuk tamu asing. Menurut perhitungan Martha, potensi pasar ulos masih sangat besar. Saat ini untuk HKBP saja ada 2.700 gereja, belum lagi gereja Batak lainnya.
Tak cukup sampai di situ, Martha pun melayani pesanan dari luar negeri. Jika dulu promosi hanya dari mulut ke mulut, kini Martha rajin mengadakan pameran di luar negeri terutama kota-kota di Jepang, seperti Osaka, Tokyo, Kobe, Fukuoka, dan Yokohama. Martha menjual ulos ke Jepang dengan harga ´ 3.500 per potong, sedang biaya kirim sebesar ´ 1.500 ditanggung pemesan. “Saya senang dengan pasar Jepang, karena mereka mengapresiasi karya saya,” ujar Martha. Saat ini ia tengah menangani pesanan 500 tas tangan dengan harga ´ 4.000 sampai ´ 4.500.
Di samping motif dan desain, Martha sangat memperhatikan kualitas bahan baku ulos. Itu sebabnya ia memilih menggunakan benang dari Pekalongan sebagai bahan baku. Di Tapanuli memang ada benang khusus yang biasa dipakai untuk membuat ulos. Tapi, menurut Martha, benang dari Tapanuli sebagian besar luntur. Ulos produksi Martha warnanya tidak terbatas seperti ulos adat yang hanya terdiri dari hitam, merah, dan putih. Warna-warna cerah, seperti biru dan merah jambu, dipilihnya agar bisa memikat konsumen dari kalangan muda. Dengan cara itu, pangsa pasar ulos pun bisa diperlebar ke kalangan anak muda.
Penenun ulos terbatas.
Sistem yang dipakainya dalam membuat ulos adalah borongan. Motif dan benang dikirim ke penenun binaan di Tapanuli Utara, juga warnanya. Setiap bulan ia mengirim benang sekitar satu hingga dua kuintal. Adapun pengerjaan ulos dilakukan para penenun binaannya. Rata-rata para penenun memperoleh penghasilan Rp 400.000 per bulan.
Harga kerajinan tangan bikinan Martha Ulos dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp 6.000 sampai Rp 550.000. Adapun kain songket ulos harganya bisa mencapai Rp 7,5 juta per helai. Berbagai kerajinan ulosnya bisa dijumpai di beberapa gerai di Mal Mangga Dua, Mal Ambassador, Taman Mini, dan Parapat. Dalam waktu dekat sebuah gerai di Bali akan dibuka.
Tapi, Martha bukan cuma berkiprah di kerajinan tangan ulos, melainkan juga di bisnis pengantin. Ada yang mengganjal di hatinya saat itu tentang pakaian pengantin adat Batak. “Saya enggak habis pikir, nenek moyang kita bertenun ulos tapi kenapa kalau kawin pakai songket daerah lain,” katanya.
Memang, ketika itu orang lebih memilih kain songket Palembang dengan alasan lebih murah dan lebih cerah warnanya. Atas dasar itulah Martha membuat kain ulos yang bisa dipakai sebagai pakaian pengantin Batak. “Mungkin saat ini belum banyak orang tahu kalau ada songket Batak,” katanya. Akhirnya bisnis Martha berkembang ke paket pernikahan lengkap, mulai dari penyewaan/penjualan baju, sovenir, make up, dekorasi, acara hiburan, hingga MC. Ia cukup fleksibel karena tak hanya melayani paket pernikahan adat Batak Toba, tapi juga adat Batak lainnya seperti Karo dan Simalungun, termasuk juga yang non-Kristen.
Dalam urusan MC, Martha melibatkan anaknya, Charles Bonar Sirait, yang dikenal sebagai presenter teve. Ia juga mengajak penyanyi terkenal seperti Tetty Manurung dan Victor Hutabarat. Harga paket pernikahan yang ditawarkan Martha, tak termasuk gedung dan katering, mulai dari Rp 20 juta-Rp 120 juta. Di samping pesta pernikahan, ia juga sering menerima order pesta ulang tahun marga dan pesta tahun baru. Tak kurang setiap bulan ada tiga order pesta. Soal pembayaran, Martha cukup streng: pembayaran harus lunas satu minggu sebelum pesta berlangsung. Khusus order paket pernikahan, menurut Martha, idealnya harus dipesan enam bulan sebelumnya. Sebab, untuk membuat tenunan yang eksklusif perlu waktu lama. Biasanya satu penenun dalam setahun hanya bisa menghasilkan tiga lembar tenunan.
Kesuksesan Martha selama puluhan tahun menggeluti bisnis ulos bukannya tanpa kendala. Sampai kini ia masih menghadapi kendala terbatasnya tenaga penenun. “Penenun tinggal orang-orang tua saja,” katanya. Jumlah penentun Martha Ulos saat ini ada 57 orang, tidak termasuk binaannya. Tapi, ia tak mau terganjal oleh masalah yang satu ini. Rencananya, Midian Sirait dan Martha akan membentuk yayasan yang menampung anak putus sekolah untuk dilatih membuat motif dan menenun ulos
buat aneka perlengkapan rumah tangga, rompi, dompet, tas, dan lainnya.Namun, kecaman bertubi-tubi lewat media massa saat itu tidak menggoy
ahkan perjuangan Martha. Akhirnya, pandangan kolot dari tetua Batak pelan-pelan terkikis. Wanita berusia 51 tahun ini bisa tenang mengembangkan bisnis ulosnya. Awalnya, Martha hanya menyalurkan hobi membuat ulos dan dipakai sendiri. Bakat membuat ulos diperoleh dari ibunya yang menjadi pembina penenun ulos di Kampung Porsea, Sumatra Utara. Itu sebabnya, sejak kecil ia sudah akrab dengan ulos. Sayangnya, usaha tenun ulos yang tergolong ATBM (alat tenun bukan mesin) tidak berkembang di kampungnya.Ketika Martha hijrah ke Jakarta, 1965, usaha tenun ulos di sana sudah menjadi bangkai. Perhatiannya terhadap ulos kembali tumbuh setelah menikah dengan Amir Sirait. Pertama-tama Martha hanya mempelajari motif-motif ulos yang sudah ada. Ia tidak berani memotong ulos yang sudah ada. “Tabu bagi orang Batak,” katanya.
Lantas, ia berpikir, bagaimana jika dari motif ulos yang sudah ada diambil sebagian saja, dan kemudian dipadupadankan. Motif-motif campuran inilah yang ditenun khusus untuk keperluan handicraft. “Jadi, bukan ulos adat yang saya potong-potong,” jelas Martha membela diri.
Upaya Martha menembus pasar cukup sederhana. Sengaja ia memakai tas, dompet, busana berbahan ulos ke berbagai acara seperti arisan atau ke gereja. Ornamen dan podium gereja serta kantung persembahan di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, pun dipercantik dengan ulos. Akibatnya, kerajinan ulos bikinan Martha semakin dikenal banyak orang. Order pun mengalir terus, mulai dari seragam paduan suara hingga pesanan Pemda Sumatra Utara untuk tamu asing. Menurut perhitungan Martha, potensi pasar ulos masih sangat besar. Saat ini untuk HKBP saja ada 2.700 gereja, belum lagi gereja Batak lainnya.
Tak cukup sampai di situ, Martha pun melayani pesanan dari luar negeri. Jika dulu promosi hanya dari mulut ke mulut, kini Martha rajin mengadakan pameran di luar negeri terutama kota-kota di Jepang, seperti Osaka, Tokyo, Kobe, Fukuoka, dan Yokohama. Martha menjual ulos ke Jepang dengan harga ´ 3.500 per potong, sedang biaya kirim sebesar ´ 1.500 ditanggung pemesan. “Saya senang dengan pasar Jepang, karena mereka mengapresiasi karya saya,” ujar Martha. Saat ini ia tengah menangani pesanan 500 tas tangan dengan harga ´ 4.000 sampai ´ 4.500.
Di samping motif dan desain, Martha sangat memperhatikan kualitas bahan baku ulos. Itu sebabnya ia memilih menggunakan benang dari Pekalongan sebagai bahan baku. Di Tapanuli memang ada benang khusus yang biasa dipakai untuk membuat ulos. Tapi, menurut Martha, benang dari Tapanuli sebagian besar luntur. Ulos produksi Martha warnanya tidak terbatas seperti ulos adat yang hanya terdiri dari hitam, merah, dan putih. Warna-warna cerah, seperti biru dan merah jambu, dipilihnya agar bisa memikat konsumen dari kalangan muda. Dengan cara itu, pangsa pasar ulos pun bisa diperlebar ke kalangan anak muda.
Penenun ulos terbatas.
Sistem yang dipakainya dalam membuat ulos adalah borongan. Motif dan benang dikirim ke penenun binaan di Tapanuli Utara, juga warnanya. Setiap bulan ia mengirim benang sekitar satu hingga dua kuintal. Adapun pengerjaan ulos dilakukan para penenun binaannya. Rata-rata para penenun memperoleh penghasilan Rp 400.000 per bulan.
Harga kerajinan tangan bikinan Martha Ulos dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp 6.000 sampai Rp 550.000. Adapun kain songket ulos harganya bisa mencapai Rp 7,5 juta per helai. Berbagai kerajinan ulosnya bisa dijumpai di beberapa gerai di Mal Mangga Dua, Mal Ambassador, Taman Mini, dan Parapat. Dalam waktu dekat sebuah gerai di Bali akan dibuka.
Tapi, Martha bukan cuma berkiprah di kerajinan tangan ulos, melainkan juga di bisnis pengantin. Ada yang mengganjal di hatinya saat itu tentang pakaian pengantin adat Batak. “Saya enggak habis pikir, nenek moyang kita bertenun ulos tapi kenapa kalau kawin pakai songket daerah lain,” katanya.
Memang, ketika itu orang lebih memilih kain songket Palembang dengan alasan lebih murah dan lebih cerah warnanya. Atas dasar itulah Martha membuat kain ulos yang bisa dipakai sebagai pakaian pengantin Batak. “Mungkin saat ini belum banyak orang tahu kalau ada songket Batak,” katanya. Akhirnya bisnis Martha berkembang ke paket pernikahan lengkap, mulai dari penyewaan/penjualan baju, sovenir, make up, dekorasi, acara hiburan, hingga MC. Ia cukup fleksibel karena tak hanya melayani paket pernikahan adat Batak Toba, tapi juga adat Batak lainnya seperti Karo dan Simalungun, termasuk juga yang non-Kristen.
Dalam urusan MC, Martha melibatkan anaknya, Charles Bonar Sirait, yang dikenal sebagai presenter teve. Ia juga mengajak penyanyi terkenal seperti Tetty Manurung dan Victor Hutabarat. Harga paket pernikahan yang ditawarkan Martha, tak termasuk gedung dan katering, mulai dari Rp 20 juta-Rp 120 juta. Di samping pesta pernikahan, ia juga sering menerima order pesta ulang tahun marga dan pesta tahun baru. Tak kurang setiap bulan ada tiga order pesta. Soal pembayaran, Martha cukup streng: pembayaran harus lunas satu minggu sebelum pesta berlangsung. Khusus order paket pernikahan, menurut Martha, idealnya harus dipesan enam bulan sebelumnya. Sebab, untuk membuat tenunan yang eksklusif perlu waktu lama. Biasanya satu penenun dalam setahun hanya bisa menghasilkan tiga lembar tenunan.
Kesuksesan Martha selama puluhan tahun menggeluti bisnis ulos bukannya tanpa kendala. Sampai kini ia masih menghadapi kendala terbatasnya tenaga penenun. “Penenun tinggal orang-orang tua saja,” katanya. Jumlah penentun Martha Ulos saat ini ada 57 orang, tidak termasuk binaannya. Tapi, ia tak mau terganjal oleh masalah yang satu ini. Rencananya, Midian Sirait dan Martha akan membentuk yayasan yang menampung anak putus sekolah untuk dilatih membuat motif dan menenun ulos

0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home